Kamis, 06 Desember 2012

Perilaku Abnormal pada Anak dan Remaja



BAB I
PENDAHULUAN

Untuk mengklasifikasikan perilaku abnormal pada anak-anak, hal pertama kita harus mengetahui apa yang dianggap normal pada usia tersebut. Untuk menentukan apa yang normal dan abnormal, khusus pada anak dan remaja yang perlu ditambahkan selain kriteria umum yang telah kita ketahui adalah factor usia anak dan latar belakang budaya. Banyak masalah yang pertama kali teridentifikasi pada saat anak masuk sekolah. Masalah tersebut mungkin sudah muncul lebih awal tetapi masih ditoleransi, atau tidak dianggap sebagai masalah ketika di rumah. Kadang-kadang stres karena pertama kali masuk sekolah ikut mempengaruhi kemunculannya (onset). Namun, perlu diingat bahwa apa yang secara sosial dapat diterima pada usia tertentu, menjadi tidak dapat diterima di usia yang lebih besar. Banyak pola perilaku yang mungkin dianggap abnormal pada masa dewasa, dianggap normal pada usia tertentu.
Gangguan pada anak-anak ini sering kali di kelompokkan dalam dua kelompok yaitu eksternalisasi dan internalisasi. Gangguan eksternalisasi ditandai dengan perilaku yang diarahkan ke luar diri, seperti agresivitas, ketidakpatuhan, overaktivitas, dan impulsivitas dan termasuk berbagai kategori DSM-IV-TR, yaitu ADHD, gangguan tingkah laku (GTL), dan gangguan sikap menentang (GSM). Gangguan internalisasi ditandai dengan pengalaman dan perilaku yang lebih terfokus kedalam diri seperti depresi, menarik diri dari pergaulan social, dan kecemasan, termasuk juga anxietas dan mood dimasa anak-anak.
            Anak-anak yang memiliki masalah-maslah yang terinternalisasi lebih besar kemungkinannya untuk tidak tertangani dibandingkan mereka yang memiliki masalah yang tereksternalisasi yang cenderung lebih mengganggu bagi orang lain. Anak laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk mengembangkan banyak masalah di masa kanak-kanak, berkisar dari autisme sampai hiperaktif hingga ganggua eliminasi. Masalah kecemasan dan depresi juga mempengaruhi leih banyak anak laki-laki daripada perempuan. Namun demikian, pada masa remaja gangguan kecemasan dan gangguan mood lebih umum dijumpai pada anak perempuan dan demikian seterusnya sampai masa remaja.
BAB II
ISI

A.    Gangguan Pemusatan Perhatian / Hiperaktivitas
Seorang anak yang selalu begerak, mengetuk-ketukkan jari, mengoyang-goyangkan kaki, mendorong tubuh anak lain tanpa alasan yang jelas, berbicar tanpa henti, dan bergerak gelisah sering kali disebut hiperaktif. Anak-anak tersebut sulit untuk berkonsentrasi pada tugasyang dikerjakan dalam waktu tertentu yang wajar.
Diagnosis ADHD tidak tepat untuk anak-anak yang ribut, aktif, atau agak mudah teralih perhatiannya karena di tahun-tahun awal sekolah anak-anak sering berperilaku demikian (Whalen, 1983). Anak dengan ADHD mengalami kesulitan mengendalikan aktifitas dalam berbagai situasi yang menghendaki mereka duduk tenang. Mereka terdisorganisasi, eratik, tidak berperasaan, kerasa kepala, dan bossy. Banyak anak ADHD mengalami kesulitan besar untuk bermain dengan anak seusia mereka dan menjalin persahabatan (Hinshaw & Melnick, 1995; Whalen & Henker, 1985), hal ini mungkin karena mereka cenderung agresif saat bermain sehingga membuat teman-temannya merasa tidak nyaman.
Anak ADHD bermain agresif dengan tujuan mencari sensasi sedang anak normal malakukan hal tersebut dangan tujuan untuk bermain sportif. Anak ADHD mengetahui tindakan yang dibenarkan secara sosial dalam berbagai situasi hipotesis, namun tidak mampu mempraktekan pengetahuan tersebut dalam perilaku interaksi sosialnya (Whalen & Henker, 1985, 1999). Karena simtom-simtom ADHD bervariasai, DSM-IV-TR mencantumkan tiga subkategori, yaitu:
1.      Tipe predominan inatentif: anak-anak yang masalah utamanya adalah rendahnya konsentrasi.
2.      Tipe predominan Hiperaktif-Impulsif: anak-anak yang masalah utamanya diakibatkan oleh perilaku hiperaktif-impulsif.
3.      Tipe kombinasi: anak-anak yang mengalami kedua rangkaian masalah diatas.
Anak-anak yang mengalami masalah atensi, namun memiliki tingkat aktivitas yang sesuai dengan tahap perkembangannya, tampak sulit memfokuskan perhatian atau lebih lambat dalam memproses informasi (Barkley, Grodzinsky, & DuPaul,1992), mungkin berhubungan dengna masalah pada daerah frontal atau striatal otak (Tannock,1998). Gangguan ADHD, lebih berhubungan dengan perilaku tidak mengerjakan tugas di sekolah, kelemahan kognitif, rendahnya prestasi, dan prognosis jangka panjangnya lebih baik. Berbeda dengan anak yang mengalami gangguan tingkah laku, mereka bertingkah disekolah dan dimana pun, dan kemungkinan jauh lebih agresif, serta mungkin memiliki orang tua yang antisosial.
ADHD ini banyak terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Anak yang mengalami ADHD, menunjukkan aktivitas yang berlebihan, perilaku temperamental, rasa ingin tahu yang berlebihan, serta sangat energik dalam bermain.

A.1 Teori Biologi ADHD
  1. Faktor genetik, penelitian menunjukan bahwa predisposisi genetika terhadap ADHD kemungkinan berperan. Bila orang tua menderita ADHD, kemungkinan sebagian anaknya akan mengalami gangguan tersebut (Biederman, dkk, 1995). Mengenai apa yang diturunkan dalam keluarga sampai saat ini belum ditemukan, namun studi baru-baru ini menunjukan bahwa ada perbedaan ungsi dan struktur otak pada anak ADHD dan anak yang tidak ADHD. Frontal lobe pada anak ADHD kurang responsif terhadap stimulasi (Rubia dkk,1999 ; tannock, 1998), aliran darah cerebral berkurang (Sieg dkk, 1995). Terlebih lagi beberapa bagian otak (frontal lobe, nucleus, kaudat, globus pallidus) pada anak ADHD lebih kecil dari ukuran normal (Castellanos dkk, 1996; Filipek dkk, 1997; Hynd dkk, 1993).
  2. Faktor perinatal dan prenatal,  berbagai hal yang berhubungan dengan masa-masa kelahiran, serta berbagai zat yang dikonsumsi ibu saat kehamilan, merupakan prediktor simtom-simtom ADHD.
  3. Racun lingkungan, teori pada tahu 1970-an menyangkut peran racun dalam  terjadinya hiperaktifitas. Zat-zat adiktif pada makanan mempengaruhi kerja system saraf pusat pada anak-anak hiperaktif. Nikotin, merupakan racun lingkungan yang dapat berperan dalam terjadinya ADHD.



A.2 Teori Psikologis ADHD
Bruno Bettelheim (1973), mengemukakan teori diathesis-stres mengenai ADHD, yaitu hiperaktifitas terjadi bila suatu predisposisi terhadap gangguan dipasangkan dengan pola asuh orang tua yang otoritarian. Pembelajaran juga dapat berperan dalam ADHD, seperti yang dikemukakan Ross dan Ross (1982), hiperaktivitas dapat merupakan peniruan perilaku orang tua dan saudara-saudara kandung. Dalam hubungan orang tua-anak sangat kurang bersifat dua arah dan lebih mungkin merupakan “rantai asosiasi kompleks” (Hinshaw dkk, 1997). Seperti halnya orang tua anak yang hiperaktif mungkin memberi lebih banyak perintah dan memiliki interaksi negatif dengan mereka (a.l.,Anderson, Hinshaw, & Simmel, 1994; Heller dkk, 1996), demikian juga anak-anak hiperaktivitas diketahui kurang patuh dan memiliki interaksi yang lebih negative dengna orang tua mereka (Barkley, Karlsson & Pollar; Tallmadge & Barkley, 1983).

A.3 Penanganan ADHD
1).          Pemberian Obat Stimulan. Metilfenidat, atau Ritalin, telah diresepkan bagi ADHD sejak awal tahun 1960-an (Sprague & Gadow, 1976), termasuk amfetamin, atau Adderall, dan Pemolin atau Cylert. Obat-obatan ini digunakan untuk mengurangi perilaku menganggu dan meningkatkan konsentrasi. Namun, penelitian lain mengindikasikan bahwa obat-obatan tersebut tidak dapat meningkatkan prestasi akademik untuk waktu lama. Efek samping dari obat-obatan ini adalah hilangnya nafsu makan untuk sementara dan masalah tidur.
2).          Penanganan Psikologis. Selain pemberian obat, penanganan yang paling menjanjikan bagi anak-anak ADHD mencakup pelatihan bagi orang tua dan perubahan menajemen kelas berdasarkan prinsip-prinsip pengondisian operant. Program ini mampu untuk memperbaiki perilaku sosial dan akademik. Pada penanganan ini perilaku anak dipantau dan di rumah dan di sekolah, dan mereka diberi penguatan untuk berperilaku sesuai dengan harapan.
Fokus program operant ini adalah meningkatkan karya akademik, menyelesaikan tugas-tugas rumah, atau belajar keterampilan sosial spesifik, dan bukan untuk mengurangi tanda-tanda hiperaktivitas, seperti berlari ke sana kemari dan menggoyang-goyangkan kaki. Berbagai intervensi di sekolah bagi anak ADHD, mencakup pelatihan bagi para guru untuk memahami kebutuhan unik anak-anak tersebut dan menerapkan teknik-teknik operant tersebut di kelas (Welsh dkk, 1997), pembimbingan oleh teman sebaya dalam keterampilan akademik (DuPaul & Henningson,1993), meminta guru-guru untuk memberikan laporan harian kepada orang tua mengenai perilaku anak di sekolah, yang ditindaklanjuti dengan hadiah dan konsekuensi di rumah (Kelly, 1990).

B.     Gangguan Tingkah Laku
Definisi gangguan tingkah laku pada DSM-IV-TR memfokuskan pada perilaku yang melanggar hak-hak dasar orang lain dan norma-norma sosial utama. Tipe perilaku yang dianggap sebagai simtom gangguan tingkah laku mencakup agresi dan kekejian terhadap orang lain atau hewan, merusakkan kepemilikan, berbohong, dan mencuri. Gangguan tingkah laku merujuk pada berbagai tindakan yang kasar dan sering dilakukan yang jauh melampaui kenakalan dan tipuan praktis yang umum dilakukan anak-anak dan remaja. Seringnya, perilaku ini ditandai dengan kesewenang-wenangan, kekejian dan kurang penyesalan.
Kriteria gangguan tingkah laku dalam DSM-IV-TR :
1.      Pola perilaku yang berulang dan tetap yang melanggar hak-hak dasar orang lain atau norma-norma sosial konvensional yang terwujud dalam bentuk tiga atau lebih perilaku dibawah ini dalam 12 bulan terakhir dan minimal satu diantaranya dalam enam bulan terakhir :
a.       Agresi terhadap orang lain dan hewan, contohnya mengintimidasi, memulai perkelahian fisik, melakukan kekejaman fisik kepada orang lain atau hewan, memaksa seseorang melakukan aktivitas seksual
b.      Menghancurkan kepemilikan (properti), contohnya membakar, vandalisme
c.       Berbohong atau mencuri, contohnya, masuk dengan paksa ke rumah atau mobil milik orang lain, menipu, mengutil
d.      Pelanggaran aturan yang serius, contohnya tidak pulang ke rumah hingga larut malam sebelum usia 13 tahun karena sengaja melanggar peraturan orang tua, sering membolos sekolah sebelum berusia 13 tahun
2.      Disabilitas signifikan dalam fungsi sosial, akademik atau pekerjaan
3.      Jika orang yang bersangkutan berusia lebih dari 18 tahun, kriteria yang ada tidak memenuhi gangguan kepribadian anti sosial

Banyak anak yang mengalami gangguan tingkah laku juga menunjukkan gangguan lain. Ada tingkat komorbiditas yang tinggi antara gangguan tingkah laku dan ADHD. Hal ini terjadi pada anak laki-laki, namun jauh lebih sedikit yang diketahui mengenai komorbiditas gangguan tingkah laku dan ADHD pada anak perempuan. Penyalahgunaan zat juga umum terjadi bersamaan dengan gangguan tingkah laku dimana dua kondisi tersebut saling memperparah satu sama lain.
Terdapat bukti bahwa anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah laku dan komorbid dengan hambatan behavioral memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melakukan kejahatan dibanding mereka yang mengalami gangguan tingkah laku yang komorbid dengan penarikan diri dari pergaulan sosial. Bukti-bukti menunjukkan bahwa anak-anak perempuan yang mengalami gangguan tingkah laku beresiko lebih tinggi untuk mengalami berbagai gangguan komorbid, termasuk kecemasan, depresi, penyalahgunaan zat, dan ADHD dibanding dengan anak laki-laki yang memiliki gangguan tingkah laku.

B.1 Prognosis Gangguan Tingkah Laku
Gangguan tingkah laku di masa kanak-kanak tidak dengan sendirinya berlanjut menjadi perilaku antisosial di masa dewasa, meskipun memang menjadi faktor yang mempredisposisi. Studi baru-baru ini, menunjukkan bahwa meskipun sekitar separuh anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah laku tidak memenuhi kriteria lengkap bagi diagnosis tersebut pada pengukuran terkemudian (1-4 tahun kemudian), hampir semuanya tetap menunjukkan beberapa masalah tingkah laku (Lahey dkk.,1995). Beberapa individu tampaknya menunjukkan pola perilaku anti sosial yang “tetap sepanjang hidup”, dengan masalah tingkah laku yang bermula di usia 3 tahun dan berlanjut menjadi kesalahan perilaku yang serius di masa dewasa. Sementara itu, yang lain “terbatas di usia remaja”. Orang-orang tersebut mengalami masa kanak-kanak yang normal, terlibat dalam perilaku antisosial dengan tingkat yang tinggi selama masa renaja, dan kembali ke gaya hidup tidak bermasalah di masa dewasa.
Lahey, dkk (1995) menemukan bahwa anak laki-laki dengan gangguan tingkah laku perilaku antisosialnya jauh lebih mungkin untuk berlanjut jika memiliki salah satu orang tua yang mengalami gangguan kepribadian antisosial atau jika mereka memilki kecerdasan verbal rendah. Interaksi beberapa faktor individual, seperti temperamen, psikopatologi yang dialami orang tua, dan interaksi orang tua-anak yang disfungsional, dan faktor-faktor sosiokultural, seperti kemiskinan, dan dukungan sosial rendah, berkontribusi terhadap lebih banyaknya kemungkinan timbulnya perilaku agresif di usia dini dengan sifat tetap.

B.2 Etiologi dan Faktor Resiko Gangguan Tingkah Laku
a.       Faktor-faktor biologis. Dalam tiga studi adopsi berskala besar di Swedia, Denmark, dan Amerika Serikat, mengindikasikan bahwa perilaku kriminal dan agresif dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan dimana faktor lingkungan pengaruhnya sedikit lebih besar. Dari studi terhadap orang kembar mengindikasikan bahwa perilaku agresif (a.l kejam terhadap hewan, berkelahi, merusak kepemilikan) jelas diturunkan, sedangkan perilaku kenakalan lainnya (a.l mencuri, lari dari rumah, membolos sekolah) kemungkinan tidak demikian. Kelemahan neurologis, tercakup dalam profil masa kanak-kanak dari anak-anak yang mengalami gangguan tingkah laku. Kelemahan tersebut termasuk keterampilan verbal yang rendah, masalah dalam fungsi pelaksanaan (kemampuan mengantisipasi, merencanakan, menggunakan pengendalian diri, dan menyelesaikan masalah) dan masalah memori.
b.      Faktor-faktor psikologis. Teori pembelajaran yang melibatkan modelling dan pengondisian operant memberikan penjelasan yang bermanfaat mengenai perkembangan dan berlanjutnya masalah tingkah laku. Anak-anak dapat mempelajari agresivitas orang tua yang berperilaku agresif. Anak juga dapat meniriu tindakan agresif dari berbagai sumber lain seperti televisi. Karena agresi merupakan cara mencapai tujuan yang efektif , meskipun tidak menyenangkan , kemungkinan hal tersebut dikuatkan. Oleh karena itu setelah ditiru, tindakan agresif kemungkinan akan dipertahankan.Berbagai karakteristik pola asuh seperti disiplin keras dan tidak konsisten dan kurangnya pengawasan secara konsisiten dihubungkan dengan perilaku antisosial pada anak-anak.
c.       Pengaruh dari teman-teman seusia. Penelitian mengenai pengaruh teman seusia terhadap agresi dan antisocial anak-anak memfokuskan pada dua bidang besar, yaitu:
1)      Penerimaan atau penolakan dari teman-teman seusia. Penolakan menunjukkan hubungan yang kausal dengan perilaku agresif, bahkan dengan tindakan pengendalian perilaku agresif yang terdahulu (Coie & Dodge, 1998).
2)      Afiliasi dengan teman-teman seusia yang berperilaku menyimpang. Pergaulan dengan teman seusia yang nakal juga dapat meningkatkan kemungkinan perilaku nakal pada anak (Capaldi & Patterson, 1994).
d. Faktor-faktor sosiologis. Tingkat pengangguran tinggi, fasilitas pendidikan yang rendah, kehidupan keluarga yang terganggu, dan subkultur yang menganggap perilaku criminal sebagai suatu hal yang dapat diterima terungkap sebagai faktor-faktor yang berkontribusi (Lahey dkk, 1999; Loeber & Farrington, 1998). Kombinasi perilaku antisosial anak yang timbul di usia dini dan rendahnya status sosioekonomi keluarga memprediksikan terjadinya penangkapan di usia muda karena tindakan criminal (Patterson, Crosby, & Vuchinich, 1992). Factor-faktor social berperan, korelasi terkuat dengan kenakalan adalah hiperaktivitas dan kurangnya pengawasan orang tua.

B.3 Penanganan Gangguan Tingkah Laku
Hal penting bagi keberhasilan dalam penanganan adalah upaya mempengaruhi banyak system dalam kehidupan seorang remaja (keluarga, teman-teman sebaya, sekolah, lingkungan tempat tinggal). Salah satu masalah yang dihadapi masyarakat adalah bagaimana menghadapai orang-orang yang nurani sosialnya tampak kurang berkembang.
1.      Intervensi keluarga, beberapa pendekatan yang paling menjanjikian untuk menangani gangguan tingkah laku mnecakup intervensi bagi orang tua atau keluarga dari si anak antisosial. Gerald Patterson dan kolegannya mengembangkan dan menguji sebuah program behavioral, yaitu Pelatihan Manajemen Pola Asuh (PMP), dimana orang tua diajari untuk mengubah berbagai respon untuk anak-anak mereka sehingga perilaku prososial dan bukannya perilaku antisosial yang dihargai secara konsisten. Para orang tua diajarkan untuk menggunakan teknik-teknik seperti penguatan positif bila si anak menunjukkan perilaku positif dan pemberian jeda serta hilangnya perilaku istimewa bila ia berperilaku agresif atau antisosial. Pmp terbukti mengubah interaksi orang tua-anak, yang pada akhirnya berhubungan dengan berkurangnya perilaku antisosial dan agresif (Dishion & Andrews, 1995; Dishion, Patterson & kavenagh, 1992). PMP juga terbukti memperbaiki perilaku para saudara kandung dan mengurangi depresi pada para ibu yang mengikuti program tersebut (Kazdin,1985).
2.      Penanganan multisistemik (PMS), Henggeler menujukkan keberhasilan dalam hal mengurangi tingkat penangkapan karena tindak kriminal dalam empat tahun setelah penanganan (Borduin dkk, 1995). Intervensi ini memandang masalah tingkah laku sebagai suatu hal yang dipengaruhi oleh berbagai konteks dalam keluarga dan antara keluarga dan berbagai sistem sosial lainnya. Teknik yang dipergunakan variasai meliputi teknik perilaku kognitif, system keluarga, dan manajemen kasus. Keunikan dari terapi ini terletak pada penekanan kekuatan individu dan keluarga, mengidenikasikan konteks bagi masalah-masalah tingkah laku, yang berfokus pada masa kini dan berorientasi pada tindakan, dan menggunakan intervensi yang membutuhkan upaya harian atau mingguan oleh para anggota.
3.      Pendekatan kognitif, terapi dengan intervensi bagi orang tua dan keluarga merupakan komponen keberhasilan yang penting, tetapi penangana semacam itu banyak memakan biaya dan waktu. Oleh kerena itu, penanganan dengan terapi kognitif individual bagi anak-anak yang mengalami gangguan tingkah laku dapat mempaerbaiki tingkah laku mereka, meski tanpa melibatkan keluarga. Contoh: mengajarkan keterampilan kognitif  pada anak-anak untuk mengendalikan kemarahan mereka menunjukan manfaat yang nyata dalam membantu mereks mengurangi perilaku agresif. Mereka belajar untuk bertahan dari serangan verbal tanapa merespon secara agresif dengan menguanakan teknik pengalihan seperti bersenandung, mengatakan hal-hal yang menyenangkan pada diri sendiri, atau beranjak pergi. Strategi lain dengan mengajarkan keterampilan moral kepada berbagai kelompok remaja yang mengalami ganguan perilaku.

C.    Disabilitas Belajar
Disabilitas belajar merujuk pada kondisi tidak memadainya perkembangan dalam suatu bidang akademik tertentu, bahasa, berbicara, atau keterampilan motorik yang tidak disebabkan oleh retardasi mental, autisme, gangguan fisik yang dapat terlihat, atau kurangnya kesempatan pendidikan. Anak-anak yang mengalami gangguan ini umumnya memiliki intelegensi rata-rata atau di atas rata-rata, namun mengalami kesulitan mempelajari beberapa keterampilan tertentu (misal aritmatika atau membaca) sehingga kemajuan mereka di sekolah menjadi terhambat. Disabilitas belajar untuk menggabungkan tiga gangguan yang tercantum dalam DSM-IV-TR yaitu : gangguan perkembangan belajar, gangguan berkomunikasi, dan gangguan keterampilan motorik.

C.1 Gangguan Perkembangan Belajar
Kriteria Gangguan Perkembangan Belajar dalam DSM-IV-TR :
a.       Prestasi dalam bidang membaca, berhitung atau menulis ekspresif di bawah tingkat yang diharapkan sesuai usia penderita, pendidikan, dan intelegensi.
b.      Sangat menghambat performa akdemik atau aktivitas sehari-hari.
Gangguan perkembangan belajar dibagi menjadi tiga kategori.  Tidak satupun dari diagnosis yang tepat jika disabilitas tersebut dapat disebabkan oleh defisit sensori, seperti masalah visual atau pendengaran.
a.       Anak dengan gangguan membaca (disleksia) mengalami kesulitan besar untuk mengenali kata, memahami bacaan, serta umumnya juga menulis ejaan. Masalah ini terus dialami hingga dewasa. Gangguan ini terjadi 5-10 persen anak usia sekolah, tidak menghambat penderitanya untuk berprestasi.
b.      Gangguan menulis ekspresif menggambarkan hendaya dalam kemampuan untuk menyusun kata tertulis (termasuk kesalahan ejaan, kesalahan tata bahasa atau tanda baca, atau tulisan tangan yang buruk) yang cukup parah sehingga dapat sangat menghambat prestasi akademik atau aktivitas sehari-hari.
c.       Anak-anak dengan gangguan berhitung dapat mengalami kesulitan dalam mengingat fakta-fakta secara cepat dan akurat, menghitung objek dengan benar dan cepat, atau mengurutkan angka-angka dalam kolom-kolom.

C.2 Gangguan Komunikasi
Beberapa kategori gangguan berkomunikasi, antara lain :
a.       Gangguan berbahasa ekspresif, dimana anak mengalami kesulitan mengekspreksikan dirinya dalam berbicara. Anak tampak sangat ingin berkomunikasi tetapi sangat sulit untuk menemukan kata-kata yang tepat. Misalnya tidak mampu mengucapkan kata mobil saat menunjuk sebuah mobil yang melintas. Kata-kat yang sudah terkuasai terlupakan oleh kata-kata yang baru dikuasai, dan penggunaan struktur bahasa sangat di bawah tingkat usianya.
b.      Gangguan fonetik, dimana anak menguasai dan mampu mempegunakan perbendaharaan kata dalam jumlah besar tetapi tidak dapat mengucapkannya dengan jelas, contohnya biru diucapkan biu. Mereka tidak menguasai artikulasi suara dari huruf-huruf yang dikuasai terkemudian, seperti r, s, t, f, z, l, dan c.
c.       Gagap, yaitu gangguan kefasihan verbal yang ditandai dengan satu atau lebih pola bicara berikut ini : seringnya pengulangan atau pemanjangan pengucapan konsonan atau vokal, jeda yang lama antara pengucapan satu kata dengan kata berikutnya, mengganti kata-kata yang sulit dengan kata-kata yang mudah diucapkan, dan mengulang kata. Jumlah laki-laki yang mengalami masalah ini sekitar 3 kali lebih banyak dari perempuan, biasanya muncul sekitar usia 5 tahun dan hampir selalu sebelum usia 10 tahun. DSM memperkirakan bahwa 80% indivisu yang gagap dapatb sembuh tanpa intervensi profesional sebelum penderita menmcapai usia 16 tahun.

C.3 Gangguan Keterampilan Motorik
Disebut juga gangguan komunikasi perkembangan dimana seorang anak mengalami hendaya parah dalam perkembangan koordinasi motorik yang tidak disebabkan oleh retardasi mental atau gangguan fisik lain yang telah dikenal sebagai serebral palsi. Anak mengalami kesulitan menalikan sepatu dan mengancingkan baju, dan bila berusia lebih besar kesulitan membuat suatu bangun, bermain bola, dan menggambar atau menulis. Diagnosis hanya ditegakkan bila hendaya tersebut sangat menghambat prestasi akademik atau aktivitas sehai-hari.

C.4 Etiologi Disabilitas Belajar
a.       Etiologi Disleksia
 Kelemahan inti yang membentuk disleksia mencakup berbagai masalah dalam proses-proses visual/pendengaran dan bahasa. Penelitian menunjukkan adanya satu masalah atau lebih dalam pemrosesan bahasa yang dapat mendasari disleksia, termasuk persepsi bicara dan analisis bunyi bahasa ucapan dan hubungannya dengan kata-kata tertulis (Mann & Braddy, 1988). Beberapa anak tertentu lebih mungkin mengalami disleksia, yaitu : mereka yang mengalami kesulitan mengenali sajak atau puisi di usia 4 tahun (Bradley & Bryant, 1985); mengalami kesulitan menyebutkan nama objek familiar dengan cepat pada usia 5 tahun (Scarborough, 1990); dan mereka yang terlambat menguasai berbagai aturan bentuk kalimat pada usia 2,5 tahun (Scarborough, 1990). Bukti lain, bahwa berbagai studi keluarga dan anak kembar menegaskan bahwa terdapat komponen keturunan dalam disleksia, yang kemungkinan dikendalikan oleh kromosom 6 (Cardon dkk. ,1994 ;Fisher dkk. ,1999; Gayan dkk. ,1999; Grigoreko dkk. , 1997)
b.      Etiologi Gangguan Berhitung
Terdapat tiga subtipe gangguan berhitung menurut para ahli. Pertama, kelemahan pada memori verbal semantik dan memicu timbulnya masalah dalam mengingat fakta-fakta aritmatik, bahkan setelah melalui latihan ekstensif. Tipe ini tampaknya berhubungan dengan beberapa disfungsi pada belahan kiri otak dan seringkali terjadi bersamaan dengan gangguan membaca.
Kedua, menyangkut penggunaan strategi yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan dalam menyelesaikan soal-soal aritmatik dan seringnya melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal sederhana.
Ketiga, jarang terjadi yaitu yang menyangkut hendaya keterampilan visuospasial, yang mengakibatkan kesalahan dalam mengurutkan angka-angka dalam kolom atau melakukan kesalahan menempatkan angka (meletakkan poin desimal di tempat yang salah).
Secara khusus, tipe disabilitas berhitung yang menyangkut hendaya memori semantik merupakan tipe yang paling mungkin diturunkan. Sebuah studi terhadap lebih dari 250 pasangan kembar menunjukkan bahwa faktor-faktor genetis yang sama mendasari kelemahan membaca dan berhitung pada anak-anak yang mengalami kedua gangguan tersebut (Gillis & DeFries, 1991).

C.5 Penanganan Disabilitas Belajar
Berbagai program penanganan harus memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mengalami rasa kemampuan dan self efficacy, mengurangi masalah behavioral yang diakibatkan oleh rasa frustrasi, mencakup strategi untuk mengatasi masalah penyesuaian masalah sosial dan emosional sekunder yang mereka alami.
Intervensi untuk Gangguan Belajar (Lyon & Moats, 1988)
1.      Model Psikoedukasi. Menekankan pada kekuatan-kekuatan dan preferensi-preferensi anak dari pada usaha untuk mengoreksi defisiensi yang mendasarinya. Misalnya anak yang menyimpan informasi auditori lebih baik dibanding visual akan diajar secara verbal, misalnya mengguanakan rekaman pita, dan bukan materi-materi visual.
2.      Model Behavioral. Mengasumsikan bahwa belajar akademik dibangun diatas hierarki ketermpilan-keterampilan dasar, atau ’perilaku yang memampukan (enabling behaviours)”. Kompetensi belajar anak akan dinilai untuk menentukan letak defisiensi dalam hierarki keterampilan. Program intruksi dan penguatan perilaku yang disusun secara individual akan membantu anak.
3.      Model Medis. Mengasumsikan bahwa gangguan belajar merefleksikan dalam pengolahan informasi yang memiliki dasar biologis. Program-program harus diadaptasi untuk memperhatikan defisit-defisit yang mendasarinya ini dan disesuaikan dengan kebiutuhan anak (Levine, 2000).
4.      Model Linguistik. Terfokus pada defisiensi dasar pada bahasa anak. Menekankan intruksi dalam keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis dengan cara yang logis, berurutan, dan multi indrawi, seperti membaca dengan keras seraya disupervisi dengan teliti. Model ini mengajarkan keterampilan bahasa secara bertahap, membantu murid-murid menangkap struktur dan meggunakan kata-kata (Shaywitz, 1998; Wagner & Torgesen, 1987)
5.      Model Kognitif. Berfokus pada bagaimana anak mengatur pemikiran mereka ketika belajar materi-materi akademik. Anak dibantu untuk belajar dengan (1) mengenali sifat dari tugas belajar, (2) menerapkan strategi-strategi untuk menyelesaikan tugas-tugas dan (3) memonitor kesuksesan strategi-strategi mereka.
Para peneliti mengembangkan permainan komputer khusus dan rekaman radio yang memperlambat pengucapan bunyi. Latihan intensif dapat meningkatkan keterampilan bahasa anak yang mengalami gangguan bahasa berat .

D.    Retardasi Mental
Retardasi mental ialah keterlambatan yang mencakup rentang yang luas dalam perkembangan fungsi kognitif dan social (APA, 2000).
Kriteria Retardasi Mental dalam DSM-IV-TR :
v  Fungsi intelektual yang secara signifikan di bawah rata-rata, IQ kurang dari 70
v  Kurangnya fungsi sosial adaptif dalam minimal dua bidang berikut : komunikasi, mengurus diri sendiri, kehidupan keluarga, keterampilan interpersonal, pengguanaan sumber daya komunitas, kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri, keterampilan akademik fungsional, rekreasi, pekerjaan, kesehatan dan kemanan
v  Onset sebelum usia 18 tahun

D.1 Kriteria Tradisional untuk Retardasi Mental
Skor Tes Intelegensi. Mereka yang memiliki skor di bawah 70 hingga 75, dua deviasi standar di bawah rata-rata populasi, memenuhi kriteria “fungsi intelektual umum secara signifikan di bawah rata-rata.”
Fungsi Adaptif. Merujuk pada penguasaan keterampilan masa kanak-kanak seperti menggunakan toilet dan berpakaian, memahami konsep waktu dan uang, mampu menggunakan peralatan, berbelanja, dan melakukan perjalanan dengan transportasi umum, serta mengembangkan responsivitas sosial.
Usia Onset. Gangguan retardasi mental terjadi sebelum usia 18 tahun, untuk mencegah mengklasifikasikan kelemahan intelegensi dan perilaku adaptif yang disebabkan oleh cedera atau sakit yang terjadi kemudian dalam hidup sebagai retardasi mental.


D.2 Klasifikasi Retardasi Mental
v  Retardasi Mental Ringan (IQ 50 hingga 70). Di usia remaja akhir dapat mempelajari ketrampilan akademik setara dengan kelas enam. Ketika dewasa, mampu melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan, meski masih membutuhkan bantuan dalam masalah sosial dan keuangan. Mereka bisa menikah dan mempunyai anak.
v  Retardasi Mental Sedang (IQ 35-40 hingga 50-55). Mereka dapat mengalami kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat keterampilan motorik normal. Dengan banyak bimbingan dan latihan, mereka dapat bepergian sendiri di tempat yang tidak asing bagi mereka.
v  Retardasi Mental Berat (IQ 20-25 hingga 35-40). Memiliki abnormalitas fisik sejak lahir dan keterbatasan dalam pengendalian sensori motor. Mereka hanya dapat melakukan sedikit aktivitas karena kerusakan otak yang parah. Mereka mampu melakukan pekerjaan yang sangat sederhana dengan supervisi terus menerus.
v  Retardasi Mental Sangat Berat (IQ di bawah 20-25). Mereka membutuhkan supervisi total dan seringkali harus diasuh sepanjang hidup mereka. Sebagian besar memiliki abnormalitas fisik berat serta kerusakan neurologis dan tidak dapat berjalan sendiri ke manapun.

D.3 Etiologi Retardasi Mental
            Penyebab spesifik yang dapat diidentifikasi umumnya adalah penyebab biologis:
1.      Anomali Genetik atau kromosom. Abnormalitas kromosom terjadi pada kurang dari 5 % dari seluruh kehamilan yang dapat bertahan. Secara keseluruhan, sekitar separuh dari 1 % bayi yang dilahirkan mengalami abnormalitas kromosom (Smith, Bierman, & Robinson, 1978). Sebagian besar bayi tersebut meninggal sesaat setelah dilahirkan. Bayi yang dapat bertahan, mayoritas mengalami Sindroma Down atau trisomi 21.
2.      Penyakit Gen Resesif. Salah satu penyakit tersebut adalah fenilketonuria (PKU) dimana terjadi defisiensi enzim hati (fenilalanin hidroksilase) yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan otak yang tidak dapat diperbaiki.
3.      Penyakit Infeksi. Konsekuensi paling terjadi dalam trimester pertama dimana janin belum memiliki respon imunologis yang dapat dideteksi, yaitu sistem imunnya belum berkembang untuk melawan virus.
4.      Kecelakaan. Dapat menyebabkan berbagai cedera otak dalam tingkat yang bervariasi dan retardasi mental.
5.      Bahaya Lingkungan. Beberapa polutan seperti merkuri, timah dapat menyebabkan keracunan dan retardasi mental.

D.4 Pencegahan dan Penanganan Retardasi Mental
1.      Penanganan Residensial
            Sejak tahun 1975, individu yang mengalami retardasi mental berhak mendapatkan penanganan yang sesuai dalam lingkungan dengan batasan yang sangat minimal. Orang dewasa dengan retardasi mental sedang, tinggal di tempat sederhana dan disediakan perawatan medis. Mereka didorong untuk berpartisipasi  dalam tugas rutin rumah tangga semampu mereka. Mereka yang mengalami retardasi mental berat, tinggal di rumah perawatan yang dilengkapi dengan layanan pendidikan dan psikologis.
2.      Intervensi Behavioral Berbasis Pengondisian Operant
            Dalam metode operant, anak-anak diajari berbagai keterampilan selangkah demi selangkah dan berurutan. Prinsip-prinsip pengondisian operant kemudian diterapkan untuk mengajarkan berbagai komponen aktivitas pada anak, juga digunakan untuk mengurangi perilaku yang tidak pada tempatnya dan perilaku mencederai diri sendiri. Intervensi Kognitif
3.      Latihan Inruksional Diri mengajari mereka yang mengalami retardasi mental untuk memandu upaya penyelesaian masalah mereka melalui kata-kata yang diucapkan.
4.      Intruksi dengan Bantuan Komputer
            Komponen visual dan auditori dalam komputer dapat mempertahankan konsentrasi para siswa yang sulit berkonsentrasi. Komputer dapat memenuhi kebutuhan akan banyaknya pengulangan materi tanpa menjadi bosan atau tidak sabar seperti yang dapat terjadi pada guru.


E.     Gangguan Autistik (Gangguan Perkembangan Pervasif)
E.1 Karakteristik Gangguan Autistik
Individu autis tidak mampu berhubungan dengan orang lain secara wajar. Mereka memiliki keterbatasan yang parah dalam bahasa dan keinginan obsesif yang kuat. Mereka mengalami ketertarikan dan menciptakan kelekatan kuat dengan berbagai benda-benda mati dan berbagai benda mekanis.
Kekurangan Komunikasi. Mengoceh (babbing), istilah yang menggambarkan ucapan bayi sebelum mereka mulai mengucapkan kata-kata sebenarnya, jarang dilakukan oleh bayi autis. Pada usia 2 tahun, sekitar 50 % anak autis tidak pernah belajar berbicara sama sekali. Mereka yang jarang belajar berbicara, bicaranya mencakup berbagai keanehan. Salah satu cirinya adalah ekolalia, dimana anak mengulangi, biasanya dengan ketepatan luar biasa, perkataan orang lain yang didengarnya. Abnormalitas lain yang umum terjadi adalah pembalikan kata ganti. Anak merujuk dirinya sendiri dengan kata “ia”, atau “kamu” atau dengan menyebut nama mereka sendiri. Neologisme, kata-kata ciptaan atau kata-kata yang digunakan dengan cara tidak biasa. Misalnya anak 2 tahun, dapat menyebut milk (susu) dengan kata “moyee” dan terus berlanjut hingga melewati masa dimana anak normal sudah bisa mengucapkannya. Anak-anak dengan autisme sangat kaku dalam menggunakan kata-kata. Kelemahan komunikasi tersebut dapat menjadi penyebab kelemahan sosial pada mereka. Meskipun mereka telah belajar berbicara, mereka seringkali kurang memiliki spontanitas verbal dan jarang berekspresi secara verbal serta penggunaan bahasa mereka tidak selalu tepat (Paul, 1987).
            Tindakan Repetitif dan Ritualistik. Anak dengan autis dapat menjadi sangat marah bila terjadi perubahan dalam rutinitas harian dan situasi sekeliling mereka. Karakteristik obsesional juga terdapat dalam perilkau anak autis dengan cara yang berbeda. Mereka juga memiliki perilaku stereotipik, gerakan tangan ritualistik yang aneh, dan gerkan ritmik lainnya, seperti menggoyangkan tubuh tanpa henti, berjalan dengan berjinjit. Menunjukkan fokus yang berlebihan pada bagian-bagian objek (misalnya memutar roda moil-mobilan secara berualang-ulang,) atau kelekatan yang tidak biasa terhadap objek-objek (seperti membawa seutas tali).
Kemunculannya (onsetnya) terjadi sebelum usia 3 tahun yang tampak dari fungsi yang abnormal pada paling tidak satu dari hal-hal berikut ini: perilaku sosial, komunikasi, atau bermain imjinatif.

E.2 Prognosis Gangguan Autistik
Berdasarkan kajiannya terhadap semua studi yang dipublikasikan, Lotter (1978) menyimpulkan bahwa 5 hingga 17 % anak-anak autis yang dapat melakukan penyesuaian yang relatif baik pada masa dewasa, menjalani hidup mandiri, namun tetap mengalami beberapa masalah residual seperti kegugupan sosial. Sebagian besar menjalani kehidupan yang terbatas dan sekitar separuhnya dirawat di institusi mental.
  Individu autistik yang tidak mengalami retardasi mental dan memiliki keberfungsian tinggi mengindikasikan bahwa sebagian besar tidak membutuhkan perawatan di suati institusi dan beberapa diantaranya mampu belajar di perguruan tinggi dan membiayai diri sendiri dengan bekerja (Yirmia & Sigman, 1991). Namun banyak juga yang mampu berfungsi secara mandiri tetap menunjukkan hendaya dalam hubungan social.

E.3 Etiologi Gangguan Autistik
Basis Psikologis
1).    Teori psikoanalisis
Yang paling dikenal adalah teori yang dikemukakan oleh Bruno Bettelhem (1967) dimana asumsi dasarnya bahwa autis disebabkan oleh pengalaman masa lalu. Balita dapat menolak orang tuanya dan mampu merasakan perasaan negatif mereka. Bayi melihat tindakannya hanya berdampak kecil pada perilaku orang tua yang tidak responsif. Maka, si anak kemudian meyakini bahwa ia tidak memiliki danpak apapun pada dunia, kemudian menciptakan “benteng kekosongan” autisme untuk melindungi diri dari penderitaan dan kekecewaan.
2).    Teori Behavioral
Beberapa teori mengemukakan teori bahwa pengalaman belajar tertentu di masa kanak-kanak menyebabkan autisme. Ferster (1961), berpendapat bahwa tidak adanya perhatian dari orang tua, terutama ibu, mencegah terbentuknya berbagai asosiasi yang menjadikan manusia sebagai penguat sosial.

Basis Biologis
1).    Faktor-Faktor Genetik
Resiko autisme pada saudara-saudara kandung dari orang-orang yang mengalami gangguan tersebut sekitar 75 kali lebih besar dibanding jika kasus indeks tidak mengalami gangguan autistik (McBride, Anderson, & Shapiro, 1996).dalam studi terhadap orang kembar, menemukan 60-91 % kesesuaian bagi autisme antara kembar identik, dibanding dengan tingkat kesesuaian 0-20 % pada kembar fraternal (Bailey dkk. , 1995 ; LeCouter dkk., 1996 ; Steffenberg dkk.,1989).
2).    Faktor-Faktor Neurologis
Dari berbagai studi EEG, banyak anak autis yang memiliki pola gelombang otak abnormal, adanya tanda-tanda disfungsi otak. Abnormalitas neurologis tersebut menunjukkan bahwa dalam masa perkembangan otak mereka, sel –sel otak gagal menyatu dengan benar dan tidak membentuk jaringan koneksi seperti terjadi dalam perkembangan otak secara normal.
Prevalensi autisme pada anak yang ibunya terinfeksi rubella semasa hamil hampir 10 kali lebih besar dibanding pada anak-anak dalam popilasi umum. Pada para individu dengan autisme, berbagai daerah otak yang berhubungan dengan pemrosesan ekspresi wajah (lobus temporalis) dan emosi (amigdala) tidak aktif selama melakukan tugas tersebut (Critchley dkk., 2001).

E.4 Penanganan Gangguan Autistik
Penanganan untuk anak autis biasanya mencoba mengurangi perilaku mereka yang tidak wajar dan meningkatkan keterampilan komunikasi dan sosial. Meski teori biologis labih banyak mendapat dukungan empiris, intervensi psikologislah yang paling menjanjikan.
Masalah Khusus dalam Menangani Anak dengan Autis
Ada beberapa karakteristik yang dimiliki anak autis yang membuat mereka sulit untuk ditangani, antara lain :
v  Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap perubahan rutinitas dan karakteristik serta tujuan utama penanganan mencakup perubahan.
v  Pengisolasian diri dan gerakan stimulasi diri yang mereka lakukan dapat menghambat pengajaran yang efektif.
v  Sangat sulit menemukan cara untuk memotivasi anak dengan autis. Penguat harus eksplisit, konkret dan sangat menonjol.
v  Selektivitas yang berlebihan dalam mengarahkan perhatian. Jika mereka sudah terfokus pada satu hal atau benda, yang lain akan terabaikan sama sekali.
Penanganan Behavioral Untuk Anak dengan Autis
Dengan Modelling dan Pengondisian Operant, para terapis perilaku mengajari anak-anak autis untuk berbicara, mengubah bicara ekolalik mereka, mendorong mereka untuk bermain dengan anak lain, dan membantu mereka secara umum menjadi lebih responsif kepada orang dewasa.
Ivar Lovaas menjalankan programoperant intensif bagi anak autis yang sangat muda ( di bawah usia 4 tahun). Terapi mencakup semua aspek kehidupan anak selama lebih dari 40 jam seminggu dalam waktu lebih dari 2 tahun. Para orang tua diberi pelatihan ekstensif sehingga penanganan dapat terus dilakukan hampir selama waktu terjaga anak-anak tersebut. Semua anak diberi hadiah bila berperilaku kurang agresif, lebih patuh, dan lebih berperilaku pantas secara sosial, misalnya berbicara dan bermain dengan anak lain. Tujuan program ini adalah membaurkan anak-anak tersebut dengan asumsi bahwa anak autis seiring membaiknya kondisi mereka, akan lebih memperolah manfaat bila berbaur bersama anak normal. Pendidikan yang diberika oleh orang tua bagi anak dari pada penanganan berbasis klinik atau rumah sakit. Koegel dan para koleganya (1982) menunjukkan bahwa 25 hingga 30 jam pelatihan bagi orang tua sama efektifnya dengan 200 jam penanganan langsung di klinik dalam hal memperbaiki perilaku anak autis. Namun Koegel berpendapat bahwa dari pada mengajari para orang tua untuk memfokuskan pada mengubah perilaku bermasalah yang ditargetkan secara individual dengan cara berurutan, orang tua akan lebih efktif bila diajari untuk terfokus pada meningkatkan motivasi dan responsivitas umum anak autis mereka. Misalnya, mengjinkan anak memilih bahan pengajaran, memberi penguat alami (pujian, bermain) dari pada pengaut berupa makanan, dan menguatkan upaya merespon serta memperbaiki respon dapat meningkatkan interaksi dan komunikasi keluarga. Salah satu intervensi berbasis komunitas yang berupaya melibatkan orang tua dalam proses penanganan adalah Treatment and Education of Autistic and related Communication Handicapped Children (TEACHC).
Penanganan Psikodinamik bagi Anak-Anak Autis
Menurut Bruno Bettelheim (1967, 1974), atmosfer yang hangat dan penuh kasih sayang harus diciptakan untuk mendorong si anak memasuki dunia. Kesabaran sebagai penerimaan positif tanpa syarat diyakini merupakan hal yang perlu dilakukan oleh anak autis untuk memulai mempercayai orang lain dan untuk mengambil kesempatan dalam membangun hubungan dengan orang lain.
Penanganan dengan Obat-Obatan
Obat yang paling umum digunakan adalah haloperidol, suatu obat antipsikotik yang sering digunakan untuk menangani skizofrenia. Beberapa studi menunjukkan bahwa obat ini mengurangi penarikan diri dari kehidupan sosial, perilaku motorik stereotipik, dan perilaku maladaptif, seperti melukai diri sendiri dan agresi.namun, obat ini tidak menunjukkan efek positif untuk aspek-aspek lain gangguan autistik, seperti hubungan interpersonal yang abnormal dan hendaya bahasa.
Para peneliti meneliti suatu antagonis reseptor opioid, neltrakson, dan menemukan bahwa obat ini mengurangi hiperaktivitas pada anak anak autis dan cukup meningkatkan perilaku memulai interaksi sosial. Selain itu juga menunjukkan sedikit peningkatan dalam perilaku memulai komunikasi. Namun obat tersebut tampaknya tidak berpengaru pada simtom-simtom utama autisme, dan beberapa bulti menunjukkan bahwa dalam dosis tertentu obat tersebut dapat meningkatkan perilaku melukai diri sendiri (Anderson dkk, 1997).

F.     KECEMASAN DAN DEPRESI
Kecemasan dianggap tidak normal apabila berlebihan dan menghambat fungsi akdemik dan soaial atau menjadi menyusahkan atau persisten. Beberapa gangguan kecemasan yang dapat dialami oleh anak dan remaja antara lain fobia spesifik, fobia sosial, gangguan kecemasan menyeluruh, PTSD, dan gangguan mood, termasuk depresi mayor dan gangguan bipolar. Diperkirakan 8%-9% anak-anak usia 10-13 tahun pernah mengalami depresi mayor selama setahun (Goleman, 1994a). perbedaan gender yang jelas yampak setelah usia 15 tahun, dimana jumlah remaja perempuan yang mengalami depresi dua kali lebih banyak dari pada laki-laki (Hankin dkk.,1998;Lewinsohn, rohde, & Seeley, 1994).
Gangguan Kecemasan akan Perpisahan
Gangguan kecemasan akan perpisahan ditandai oleh ketakutan yang berlebihan akan perpisahannya dari orang tua atau pengasuh lainnya. Anak-anak dengan gangguan ini cenderung terikat pada orang tua dan mengikuti kemana pun mereka berada di lingkungan rumahnya. Anak tersebut dapat mengemukakan kecemasan tentang kematian dan memaksa seseorang untuk menemani saat mereka tidur. Mereka seringkali menglami mimpi buruk, salit perut, mual, dan muntah ketika mengantisipasi perpisahan. Gangguan ini terjadi sekitar 4% anak dan remaja awal, dapat berlangsung sampai dewasa, menyebabkan perhatian yang berlebihan pada keselamatan nak-anak dan pasangan serta kesulitan mentoleransi perpisahan apapun dari mereka. Perkembangan gangguan ini sering muncul setelah adanya kejadian hidup yang menekan, seperti kematian, kondisi sakit, perubahan sekolah atau rumah.
Perpektif tentang Gangguan Kecemasan di Masa Kanak-Kanak
Teoretikus psikoanalisis berpendapat bahwa kecemasan-kecemasan dan ketakutan pada masa kecil seperti yang terjadi pada orang dewasa, melambangkan konflik-konflik yang tidak disadari. Teoretikus kognitif memfokuskan pada peran bias-bias kognitif yang mendasari reaksi kecemasan, seperti meragukan kemampuandalam mengatasi masalah, menginterpretasikan situasi-situasi ambigu sebagai sesuatu yang mengancam, mengharapkan hasil yang negatif, melakukan self-talk yang negatif.
Teoretiokus belajar menyatakan bahwamunculnya kecemasan menyeluruh dapat menyentuh tema-tema yang luas, seperti ketakutan akan penolakan atau kegagalan yang dibawa pada berbagai situasi. Gaktor genetik dapat memegang peranan dalam kecemasan akan perpisahan dan gangguan kecemasan lain disamping masalah interaksi sosial (Coyle, 2001).
Depresi pada Masa Kanak-Kanak dan Remaja
Anak-anak dan remaja yang mengalami depresi dapat memiliki perasaan tidak berdaya, pola berpikir yang lebih terdistorsi, kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri sehubungan dengan kejadian-kejadian negatif, serta self-esteem. Self-confidence, dan depresi akan kompetensi yang lebih rendah dibandingkan dengan teman dsebaya yang tidak depresi (Lewinsohn dkk.,1994; Kovacs, 1996). Mereka sering melaporkan adanya episode kesdiahn danm menangis, merasa apatis, sulit tidur, lelah, dan kurang nafsu makan. Mereka memiliki keinginan untuk bunuh diri bahkan mencoba untuk bunuh diri.
Nak-anak dan remaja yang depresi mungkin gagal melabelk perasaan mereka sebagai depresi. Sebagian dari masalahnya adalah perkembangan kognitif. Anak biasanya tidak mampu mengenali perasaan internal sampai usia 7 tahun. Bahkan kadang samapi remaja, mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka alami adalah depresi.
Lamanya episode depresi mayor pada anak-anak dan remaja kira-kira 11 bulan, tetapi episode individual bisa mencapai 18 bulan pada beberapa kasus (Goleman, 1994a) dengan tingkat sedang dapat bertahan samapi beberapa tahun dan amat mempengaruhi prestasi sekolah dan fungsi sosial.
Anak-anak yang depresi juga kurang memiliki berbagai keterampilan, termasuk keterampilan akademik, atletik dan sosial. Mereka sulit berkonsentrasi di sekolah dan mengalami hendaya memori sehingga sulit meningkatkan nilai mereka. Depresi pada anak jarang terjadi dengan sendirinya. Mereka umumnya mengalami gangguan psikologis laian seperti CD atau ODD.
Korelasi dan PenangananDepresi pada Masa Kanak-Kanak dan Remaja
Anak-anak dan remaja depresi cenderung mengadopsi gaya kognitif yang ditandai oleh sikap negatif terhadap diri sendiri dan masa depan. Secara keseluruhan, perubahan kognisi pada anak-anak yang depresi meliputi hal-hal berikut :
a. Mengharapkan yang terburuk (pesimis)
b.Membesar-besarkan konsekuaensi dari kejadian-kejadian yang negatif
c. Mengasumsikan tanggung jawab pribadi untuk hasil yang negatif, walaupun tidak beralasan
d.                                                                                                                        Secara selektif hanya memperhatikan aspek-aspek dari berbagai kejadian
Terapi kognitif behavioral yang digunakan untuk menangani anak dan remaja depresi biasanya melibatkan model keterampilan coping dimana anak-anak dan remaja memperoleh keterampilan sosial (misalnya belajar bagaimana memulai percakapan, atau berteman) untuk meningkatkan kemungkinan memperoleh reinforcement sosial. Terapi ini biasanya uga mencakup pelatihan dalam keterampilan pemecahan masalah dan cara-cara untuk meningkatkan frekuensi dari aktivitas yang menyenangkan serta mengubah gaya berpikir depresi.
Terapi keluarga dapat bermanfaat dalam membantu keluarga memecahkan konflik-konflik dan mengatur kembali hubungan mereka sehingga anggota keluarga dapat menjadi lebih suportif satu sama lain.
Antidepresan tipe SSRI, seperti prozac, cukup menjanjikan dalam mengatasi depresi anak-anak dan remaja. Litium juga digunakan dan umumnya memberikan hasil yang baik dalam mengatasi anak-anak dan remaja dengan gangguan bipolar.
Bunuh diri pada anak dan remaja. Beberapa faktor yang diasosiasikan dengan peningkatan resiko bunuh diri diantara anak dan remaja :
a.       Gender. Anak perempuan memiliki resiko tiga kali lebih besar untuk melakukan usaha bunuh diri. Namum anak laki-laki cenderung lebih berhasil melakukannya, mungkin mereka lebih memilih cara-cara yang mematikan.
b.       Usia. Mereka yang berada pada usia remaja akhir atau dewasa awal (15-24 tahun) beresiko lebih besar dibandingkan anak dan remaja awal.
c.        Geografi. Remaja yang tinggal di pemukiman yang kurang padat memiliki resiko lebih besar untuk bunuh diri.
d.      Ras.  Tingkat bunuh diri pada remaja Afrika Amerika, Asia Amerika, dan Hispanik Amerika sekitar 30%-60% lebih rendah  dari pada remaja kulit putih non Hispanik.
e.       Depresi dan Keputusasan.
f.        Perilaku bunuh diri sebelumnya. Seperempat dari remaja yang melakukan percobaan bunuh diri sudah pernah mencoba sebelumnya. Lebih dari 80% remaja yang bunuh diri sudah pernah membicarakan hal tersebut sebelumnya. Sejarah bunuh diri dalam keluarga meningkatkan resiko bunuh diri pada remaja.
g.      Masalah-masalah keluarga. 75% remaja melakukan bunuh diri karena adanya masalah dalam keluarga.
h.      Kejadian-kejadian yang menimbulkan stres. Misalnya saja, putus cinta dengan pacar, kehamilan di luar nikah, masalah di sekolah.
i.        Penyalahgunaan obat.
j.        Penularan sosial. Remaja dapat meromantisasi bunuh diri sebagai suatu aksi kepahlawanan yang menantang.
G.    GANGGUAN ELIMINASI
Enuresis
Enuresis berasal dari bahasa Yunani en-, yang berarti “di dalam” dan auron, yang berarti “urine”. Enuresis adalah kegagalan mengontrol BAK setelah seseorang mencapai usia “normal” untuk mampu melakukan kontrol. Enuresis diperkirakan mempengaruhi 7% anak laki-laki dan 3% anak perempuan usia 5 tahun. Gangguan ini biasanya hilang dengan sendirinya pada usia remaja atau sebelumnya, walaupun pada 1% kasus masalah ini berlanjut sampai dewasa (APA, 2000).
Enuresis dapat terjadi selama tidur malam saja, selama anak terjaga saja, atau keduanya. Enuresis saat tidur malam saja adalah tipe yang paling umum, dan enuresis yang muncul saat tidur disebut mengompol.
Ciri-ciri diagnostik dari Enuresis
v  Anak berulang kali mengompol di tempat tidur atau pakaian (baik disengaja maupun tidak).
v  Usia kronologis anak minimal 5 tahun (atau anak berada pada tingkat perkembangan yang setara).
v  Perilaku tersebut muncul setidaknya dua kali seminggu selama 3 bulan, atau menyebabkan hendaya yang signifikan dalam fungsi atau distres.
v  Gangguan ini tidak memiliki dasar organik.
Perspektif Teoretis. Teori psikodinamika mengemukakan bahwa enuresis dapat mempresentasikan ekspresi kemarahan terhadap orang tua karena pelatihan BAK dan BAK yang keras. Teoretikus belajar menekankan bahwa enuresis muncul paling sering pada anak-anak dengan orang tua yang mencoba melatih mereka sejak usia dini. Kagagalan pada masa awal dapat menghubungkan kecemasan dengan usaha untuk mengontrol BAK.
Enuresis primer, ditandai oleh mengompol yang terus menerus dan tidak pernah mampu untuk mengontrol BAK, diturunkan secara genetis. Enuresis sekunder tampak pada anak-anak yang memiliki masalah setelah mampu mengontrol BAK dan diasosiasikan dengan mengompol secara berkala.
Penanganan.  Enuresis biasanya hilang dengan sendirinya setelah anak-anak menjadi dewasa. Metode behavioral mengondisikan anak-anak untuk bangun bila kandung kemih mereka penuh. Salah satu contohnya adalah metode bel dan bantalan dari Mowrer. Caranya adalah dengan meletakkan bantalan di bawah anak yang sedang tidur. Bila bantalan basah, sirkuit listrik menutup menyebabkan bel berbunyi dan membangunkan anak yang masih tidur.setelah beberapa kali pengulangan, anak-anak belajar untuk bangun sebagai respon dari tekanan kandung kemih sebelum mereka mengompol. Teknik ini biasanya dilakukan dengan metode classical conditioning.
Terapi obat dapat dilakukan dengan menggunakan flufoxamine, sebuah SSRI tipe anti depresan, bekerja pada sistem otak yang mengontrol BAK.

Enkopresis
Enkopresis berasal dari bahasa Yunani en- dan kopros,  yang artinya “feses”. Enkopresis adalah kurangnya kontrol terhadap keinginan buang air besar yang bukan disebabkan oleh masalah organik. Anak harus memiliki usia kronologis minimal 4 tahun, atau pada anak-anak dengan perkembangan yang lambat, usia mentalnya minimal 4 tahun (APA, 2000). Sekitar 1% dari anak usia 5 tahun menederita enkopresis. Gangguan ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Enkopresis jarang terjadi pada usia remaja kecuali mereka yang mengalami retardasi mental yang parah atau intens. Faktor-faktor predisposisi yang mungkin diantaranya adalah toilet training yang tidak konsisten atau tidak lengkap dan sumber stres psikologis, seperti kelahiran saudara sekandung atau mulai bersekolah.
Soiling (mengotori), tidak seperti enuresis, lebih sering terjadi pada siang hari. Hal ini akan memalukan bagi anak. Anak-anak membuat jarak dengan teman-temannya atau pura-pura sakit agar bisa tinggal di rumah.
Metode operant conditioning dapat membantu dalam mengatasi soiling. Disini diberikan reward (dengan pujian atau cara-cara lain) untuk keberhasilan usaha self-control dan hukuman untuk ketidaksengajaan (misanya, dengan memberi peringatan agar lebih memperhatikan rasa ingin BAB dan meminta anak untuk membersihkan pakaian dalamnya). Bila enkopresis bertahan, direkomendasikan evaluasi medis dan psikologis untuk menentukan kemungkinan penyebab dan penanganan yang tepat.
Ringkasan jurnal
Judul jurnal: Deteksi Dini ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders)
Oleh: Dr Widodo Judarwanto SpA,
Ringkasan jurnal

Diagnosis and Statistic Manual (DSM IV) menyebutkan prevalensi kejadian ADHD pada anak usia sekolah berkisar antara 3 hingga 5 persen. Lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Secara epidemiologis rasio kejadian dengan perbandingan 4 : 1. Namun semakin lama tampaknya semakin meningkat. Sering dijumpai pada anak usia pra sekolah dan usia sekolah,  terdapat kecenderungan  keluhan ini akan berkurang setelah usia Sekolah Dasar. Meskipun tak jarang beberapa manifestasi klinis tersebut dijumpai pada remaja atau orang dewasa. ADHD adalah gangguan perkembangan yang mempunyai onset gejala sebelum usia 7 tahun. Setelah usia anak, akan menetap saat remaja atau dewasa. Diperkirakan penderita ADHD akan menetap sekitar 15-20% saat dewasa. Sekitar 65% akan mengalami gejala sisa saat usia dewasa atau kadang secara perlahan menghilang. Angka kejadian ADHD saat usia dewasa sekitar 2-7%. Predisposisi kelainan ini adalah 25% pada keluarga dengan orang tua yang membakat.
Ada tiga gejala utama yang nampak dalam perilaku anak ADHD, yaitu inatensi, hiperaktif, dan impulsif. Gangguan tersebut sudah menetap minimal 6 bulan, dan terjadi sebelum anak berusia 7 tahun. Gejala-gejala tersebut muncul setidaknya dalam 2 situasi, misalnya di rumah dan di sekolah. Sekitar 50-60% penderita ADHD didapatkan sedikitnya satu gangguan perilaku penyerta lainnya.
PENANGANAN DINI HIPERAKTIFITAS
Terapi yang diterapkan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistik dan menyeluruh. Penanganan ini hendaknya melibatkan multi disiplin ilmu yang berpengaruh terhadap penderita secara bersama-sama. 
Terapi medikasi atau farmakologi adalah penanganan dengan menggunakan obat-obatan. Sebelumnya, diagnosa ADHD haruslah ditegakkan lebih dulu dan pendekatan terapi okupasi lainnya secara simultan juga harus dilaksanakan agar penanganannya lebih efektif.
Terapi nutrisi dan diet. Diantaranya adalah keseimbangan diet karbohidrat, penanganan gangguan  pencernaan, penanganan  alergi makanan atau reaksi simpang makanan lainnya.
Terapi biomedis dilakukan dengan pemberian suplemen nutrisi untuk mengatasi defisiensi mineral,  essential Fatty Acids, gangguan metabolisme asam amino  dan toksisitas Logam berat. Terapi inovatif yang pernah diberikan terhadap penderita ADHD adalah terapi EEG Biofeed back, terapi herbal, pengobatan homeopatik dan pengobatan tradisional  Cina seperti akupuntur.
Terapi okupasi. Diantaranya, Sensory Integration (AYRES), snoezelen, neurodevelopment Treatment (BOBATH), modifkasi perilaku, terapi bermain.
STIMULASI DINI
Terapi modifikasi perilaku harus melalui pendekatan perilaku secara langsung, dengan lebih memfokuskan pada perubahan secara spesifik. Pendekatan ini cukup berhasil dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial, bahasa dan perawatan diri sendiri, serta mengurangi perilaku yang tidak diinginkan. Modifikasi perilaku dapat menghindarkan anak dari perasaan frustrasi, marah, dan berkecil hati menjadi suatu perasaan yang penuh percaya diri.
Terapi bermain sangat penting untuk mengembangkan ketrampilan, kemampuan gerak, minat dan terbiasa dalam suasana kompetitif dan kooperatif dalam melakukan kegiatan kelompok. Bermain juga dapat dipakai untuk sarana persiapan untuk beraktifitas dan bekerja saat usia dewasa.
Umpan balik, dorongan semangat, dan disiplin merupakan pokok dari upaya perbaikan perilaku anak. Umpan balik diberikan agar anak bersedia melakukan sesuatu dengan benar disertai dengan dorongan semangat dan keyakinan bahwa dia mampu mengerjakan. Keberhasilannya haruslah diberi penghargaan yang tulus baik berupa pujian atupun hadiah tertentu yang bersifat konstruktif.   Bila hal ini tidak berhasil dan anak menunjukkan tanda-tanda emosi yang tidak terkendali harus segera dihentikan atau dialihkan pada kegiatan lainnya yang lebih ia sukai.



Daftar pustaka

Davison, Gerald C dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Nevid, Jeffrey S dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta : Penerbit Erlangga.
www. puterakembara.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar